Senin, 05 September 2011

Autism dan Terapi Musik (I)


Setiap anak merupakan anugerah bagi orangtua. Orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun sering terjadi keadaan anak memperlihatkan suatu gejala atau masalah perkembangan sejak usia dini. Gangguan perkembangan anak banyak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti faktor genetika, pola hidup, polusi lingkungan, serta keracunan dari makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Gangguan kelainan perkembangan anak diantaranya adalah epilepsi, hiperaktif, retradasi mental, sindrom down dan salah satunya adalah autism (Fernando, 2004).
Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Ratnadewi, 2004). Kata autism berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang secara tidak langsung menyatakan orientasi, arah atau keadaan (Fernando, 2004).
Diperkirakan terdapat 400.000 penyandang autism di Amerika Serikat. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autism pada tahun 2007 mendekati 100–200 per 10.000 kelahiran. Di Inggris, data terbaru adalah 92,6 per 10.000 kelahiran. Akhir-akhir ini kasus autism menunjukkan peningkatan di Indonesia. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dalam pembukaan rangkaian Expo Peduli Autism 2008 mengatakan bahwa jumlah penderita autism di Indonesia di tahun 2004 tercatat sebanyak 475 ribu penderita dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autism (Ratnadewi, 2004).
Autism lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan, namun barulah pada usia sekitar 6 tahun anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis (Rapin, 1997). Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autism umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal (Fox, 2000). Banyak terapi yang telah digunakan untuk menangani anak autism, diantaranya terapi applied behavioral analysis (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik, terapi sosial, terapi bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan, terapi visual, terapi biomedik dan terapi musik (Budiman, 2006).  
Musik dapat diaplikasikan sebagai terapi untuk pengembangan kognitif, pengembangan motorik, komunikasi dan interaksi sosial (Humpall, 2000). Musik tidak hanya berarti bagi orang normal saja tetapi juga berarti bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, yaitu anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan misalnya anak retardasi mental, aphasia dan autism (Bartlert, 2003).  Musik dapat menjadi suatu terapi yang dapat membantu perkembangan anak-anak tersebut (Robbins, 2001).
Jenis musik klasik Mozart, musik gamelan hingga lagu anak-anakpun bisa digunakan untuk media terapi musik autism. Hasil penelitian Angelina 2011, menunjukan adanya pengaruh musik klasik Mozart terhadap pemusatan perhatian pada anak autism. Selanjutnya hasil penelitian Ferdinan 2008, musik tradisional gamelan Klenengan ACD-014 dan ACD-085 (Lokananta Recording) menunjukkan pengaruh positif terhadap ketenangan emosi anak autism. Selanjutnya, dengan menggunakan lagu anak-anak, anak autism juga akan ikut berpatisipasi dalam menyanyikan lagu tersebut. Seperti lagu karya Ibu Sud yang berjudul “Menanam Jagung”, menjadi tahap terapi musik di Rumah autism, lembaga pembelajaran bagi anak autism. Dalam proses pembelajaran mereka menggunakan musik untuk mulai mengenal jenis tanaman, lalu menanam hingga memetik hasilnya (Budiman, 2006).
Selain itu, Lagu “Topi saya bundar”, “Pelangi-pelangi”, “Naik ke puncak
gunung”, “Disini senang-disana senang” juga digunakan dalam proses pembelajaran anak autism. Terapi musik menggunakan lagu anak dapat membuat anak autism menikmati hidup dari kondisinya yang terisolasi menjadi berinteraksi dan meningkatkan perkembangan emosi sosial anak (Yulianti, 2009).


Emosi merupakan respon individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif (Ekman, 1999). Anak autis mengalami kesulitan untuk memahami emosi orang lain maupun emosi diri sendiri. Mereka memiliki keterbatasan dalam berbagi perasaan dengan orang lain. Keterbatasan dalam mengungkapkan dan memahami emosi seringkali menyebabkan anak autis mengalami kesulitan mengendalikan ekspresi emosi negatif yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga dapat berakibat buruk untuk anak itu sendiri dan orang di sekitamya. Selain itu respon emosi yang anak autis tampilkan seringkali tidak sesuai dengan situasi yang ada (Wolfe, 1999).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa musik dapat memberikan rangsangan untuk aspek perkembangan secara kognitif dan kecerdasan emosional. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar