Setiap
anak merupakan anugerah bagi orangtua. Orang
tua menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun sering terjadi keadaan anak
memperlihatkan suatu gejala atau masalah perkembangan sejak usia dini. Gangguan
perkembangan anak banyak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti faktor
genetika, pola hidup, polusi lingkungan, serta keracunan dari makanan dan minuman
yang dikonsumsinya. Gangguan kelainan perkembangan anak diantaranya adalah
epilepsi, hiperaktif, retradasi mental, sindrom down dan salah satunya adalah autism
(Fernando, 2004).
Autism adalah
gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan
dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial (Ratnadewi, 2004). Kata autism berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata yaitu “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang
secara tidak langsung menyatakan orientasi, arah atau keadaan (Fernando, 2004).
Diperkirakan terdapat
400.000 penyandang autism di Amerika Serikat. National Information Center for
Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autism pada
tahun 2007 mendekati 100–200 per 10.000 kelahiran. Di Inggris, data terbaru
adalah 92,6 per 10.000 kelahiran. Akhir-akhir ini kasus autism menunjukkan
peningkatan di Indonesia. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dalam
pembukaan rangkaian Expo Peduli Autism 2008 mengatakan bahwa jumlah penderita autism
di Indonesia di tahun 2004 tercatat sebanyak 475 ribu penderita dan sekarang
diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autism (Ratnadewi,
2004).
Autism lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki. Umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan,
namun barulah pada usia sekitar 6 tahun anak yang mengalami gangguan ini untuk
pertama kali memperoleh diagnosis (Rapin, 1997). Keterlambatan dalam diagnosis
dapat merugikan, karena anak-anak autism umumnya akan menjadi lebih baik bila
memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal (Fox, 2000). Banyak terapi yang
telah digunakan untuk menangani anak autism, diantaranya terapi applied
behavioral analysis (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik,
terapi sosial, terapi bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan, terapi
visual, terapi biomedik dan terapi musik (Budiman, 2006).
Musik
dapat diaplikasikan sebagai terapi untuk pengembangan kognitif, pengembangan
motorik, komunikasi dan interaksi sosial (Humpall, 2000). Musik tidak hanya
berarti bagi orang normal saja tetapi juga berarti bagi anak-anak dengan
kebutuhan khusus, yaitu anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan misalnya
anak retardasi mental, aphasia dan autism (Bartlert, 2003). Musik dapat menjadi suatu terapi yang dapat
membantu perkembangan anak-anak tersebut (Robbins, 2001).
Jenis
musik klasik Mozart, musik gamelan hingga lagu anak-anakpun bisa digunakan
untuk media terapi musik autism. Hasil penelitian Angelina 2011, menunjukan
adanya pengaruh musik klasik Mozart terhadap pemusatan perhatian pada anak
autism. Selanjutnya hasil penelitian Ferdinan 2008, musik tradisional gamelan Klenengan ACD-014 dan ACD-085 (Lokananta Recording) menunjukkan pengaruh positif terhadap ketenangan emosi anak autism. Selanjutnya, dengan
menggunakan lagu anak-anak, anak autism juga akan ikut berpatisipasi dalam
menyanyikan lagu tersebut. Seperti lagu
karya Ibu Sud yang berjudul “Menanam Jagung”, menjadi tahap terapi musik di
Rumah autism, lembaga pembelajaran bagi anak autism. Dalam proses
pembelajaran mereka menggunakan musik untuk mulai mengenal jenis tanaman, lalu menanam
hingga memetik hasilnya (Budiman, 2006).
Selain
itu, Lagu “Topi saya bundar”, “Pelangi-pelangi”, “Naik ke puncak
gunung”,
“Disini senang-disana senang” juga digunakan dalam proses pembelajaran anak
autism. Terapi musik menggunakan lagu anak dapat membuat anak autism menikmati
hidup dari kondisinya yang terisolasi menjadi berinteraksi dan meningkatkan
perkembangan emosi sosial anak (Yulianti, 2009).
Emosi
merupakan respon individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat
menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif
(Ekman, 1999). Anak autis mengalami kesulitan untuk memahami emosi orang lain
maupun emosi diri sendiri. Mereka memiliki keterbatasan dalam berbagi perasaan
dengan orang lain. Keterbatasan dalam mengungkapkan dan memahami emosi
seringkali menyebabkan anak autis mengalami kesulitan mengendalikan ekspresi
emosi negatif yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga dapat berakibat
buruk untuk anak itu sendiri dan orang di sekitamya. Selain itu respon emosi
yang anak autis tampilkan seringkali tidak sesuai dengan situasi yang ada
(Wolfe, 1999).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa musik dapat
memberikan rangsangan untuk aspek perkembangan secara kognitif dan kecerdasan
emosional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar