Gangguan
Autism
2.1.1
Definisi Autism
Autism
pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner menyebutkan bahwa autism adalah suatu gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut
dr. Faisal Yatim (dalam Suryana, 2004), autism bukanlah gejala penyakit tetapi
berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian
terhadap sekitar, sehingga anak autism hidup dalam dunianya sendiri. Autism
tidak termasuk ke dalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala
kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autism
terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan atau yang disebut dengan gangguan
pervasif (Suryana, 2004).
Berdasarkan hal di atas, maka autism adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis gangguan perkembangan
pervasif pada anak yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada
bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Widyawati,
1997).
2.1.2
Etiologi Autism
Berikut ini beberapa dugaan penyebab
autism dan diagnosis medisnya:
1. Gangguan
Susunan Saraf Pusat
Eric
Courchesne dari Departement of Neurososciences, School of Medicine, University of California, SanDiego, melakukan MRI pada para
penyandang autism dan menemukan bahwa cerebellum pada sebagian
penyandang autism lebih kecil dari pada anak normal, yaitu terutama pada lobus
ke VI-VII. Penemuannya ini kemudian makin dikukuhkan oleh 17 penelitian lain
yang dilakukan di sepuluh pusat penelitian, antara lain di Kanada, Francis dan
Jepang. Penelitian ini melibatkan 250 penyandang autism, dimana pada kebanyakan
dari mereka ditemukan pengecilan cerebellum. Pemeriksaan
pencitraan resonansi magnetik (MRI) menemukan hipoplasia pada lobus vermal VI
dan VII serebral, dan penelitian MRI lain menemukan
abnormalitas kortikal, terutama polimikrogria pada beberapa pasien autis. Suatu
pemeriksaan otopsi menemukan penurunan hitung sel purkinje yang menyebabkan kelainan
kesadaran, dan proses sensorik, daya ingat, berpikir dan juga proses atensi atau perhatian (Maulana, 2007).
Selain cerebellum
juga terjadi gangguan sistem limbik pada anak autism. Sistem limbik merupakan
pusat emosi yang terletak dibagian dalam
otak. Penelitian Barman dan Kemper (S.M. Edelson, 1995)
menemukan adanya kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus
dan amigdala. Dalam kedua organ tersebut sel-sel neuron tumbuh
dengan padat dan kecil-kecil, sehingga
fungsinya menjadi kurang baik. Kelainan itu diperkirakan terjadi semasa
janin (Kuwanto & Natalia, 2001).
2.
Faktor Genetika
Gejala autis pada anak disebabkan oleh
faktor turunan. Setidaknya telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autism.
Akan tetapi gejala autism baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Autism
bisa saja tidak muncul meskipun anak membawa gen autism. Jadi,
ini memerlukan faktor pemicu lain (Suryana, 2004).
3. Keracunan
Logam Berat
Belakangan ini
banyak beredar makanan ringan dan aneka mainan yang mengandung bahan logam
berat. Kandungan logam berat ini diduga sebagai penyebab kerusakan otak pada
anak autis. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya sekresi logam berat dari
tubuh terganggu secara genetis. Beberapa logam berat seperti arsenik (As),
antimon (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak
yang sangat kuat. Kemungkinan lain anak autis disebabkan karena keracunan
merkuri. Keracunan merkuri pada anak-anak autis masih dapat ditanggulangi
dengan melakukan terapi kelasi, yaitu
dengan mengeluarkan merkuri dari otak mereka (Suryana, 2004).
Sampel urine dari ratusan
anak Prancis membuktikan adanya hubungan antara autism dan paparan logam berat.
Bila ini benar, maka beberapa kasus autism dapat disembuhkan dengan kelasi. Sampel urine anak-anak autism
mengandung kadar porfirin yang sangat tinggi. Porfirin adalah suatu jenis
protein yang memegang peran penting dalam memproduksi haem, yaitu komponon yang membawa oksigen dalam hemoglobin. Logam
berat menghalangi produksi haem dan
menyebabkan porfirin tertumpuk dalam urine. Konsentrasi dari molekul coproporphyrin 26 kali lebih tinggi
dalam urine anak autism dibandingkan dengan anak normal (Suryana,
2004).
Richard Lathe dari Pieta Research di
Edinburgh, Inggris, mengatakan bahwa kemungkinan besar autism terjadi karena
logam-logam berat tersebut. Menurut Lathe, metabolit porfirin mengikat reseptor
di otak dan dapat menimbulkan epilepsi dan autism. Para peneliti tersebut
mengembalikan kadar porfirin menjadi normal pada dua belas anak dengan cara
melakukan kelasi, yaitu membersihkan
dan mengeluarkan logam berat dari tubuh. Belum diketahui apakah gejala
anak-anak tersebut telah membaik. Akan tetapi menurut Lathe, ia mendapatkan
laporan yang positif (Maulana,
2007).
2.1.3
Tanda, Gejala dan Diagnosa Autism
|
USIA
|
TANDA DAN GEJALA AWAL
|
0-6 bulan
|
§ Bayi
tampak terlalu tenang (jarang menangis)
§ Terlalu
sensitif, cepat terganggu/terusik
§ Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
§ Tidak
“babbling”
§ Tidak
ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu
§ Tidak ada kontak mata di atas umur 3 bulan
§ Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
|
6-12 bulan
|
§ Bayi
tampak terlalu tenang (jarang menangis)
§ Terlalu
sensitif, cepat terganggu/terusik
§ Gerakan
tangan dan kaki berlebihan
§ Sulit
bila digendong
§ Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
§ Tidak
ditemukan senyum sosial
§ Tidak
ada kontak mata
§ Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
|
1-2 tahun
|
§ Kaku
bila digendong
§ Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da da)
§ Tidak
mengeluarkan kata
§ Tidak
tertarik pada boneka
§ Memperhatikan
tangannya sendiri
§ Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor
kasar/halus
§ Mungkin
tidak dapat menerima makanan cair
|
2-3 tahun
|
§ Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak
lain
§ Melihat
orang sebagai “benda”
§ Kontak
mata terbatas
§ Tertarik
pada benda tertentu
§ Kaku
bila digendong
|
4-5 tahun
|
§ Sering
didapatkan ekolalia (membeo)
§ Mengeluarkan
suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
§ Marah
bila rutinitas yang seharusnya berubah
§ Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) dan temper
tantrum
|
|
Kriteria Gangguan
Autistik dalam DSM-IV, enam
atau lebih dari kriteria pada A, B, dan C di bawah ini, dengan minimal dua
kriteria dari A dan masing-masing satu dari B dan C:
A.
Dalam interaksi sosial yang terwujud
dalam minimal dua dari kriteria berikut:
1.
Tampak jelas dalam penggunaan perilaku
nonverbal seperti kontak mata,
ekspresi wajah, bahasa tubuh.
2.
Kelemahan dalam perkembangan hubungan
dengan anak-anak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.
3. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang
lain secara spontan.
4. Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional.
B. Dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu dari
kriteria berikut:
1. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa
upaya untuk menggantinya dengan gerakan nonverbal.
2. Pada mereka yang cukup mampu berbicara, yang tampak
jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain.
3. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik
4.
Kurang bermain sesuai tahap
perkembangannya
C.
Perilaku
atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam minimal satu dari kriteria
berikut ini:
1.
Preokupasi yang tidak normal pada obyek
atau aktivitas tertentu
2.
Keterikatan
yang kaku pada ritual tertentu
3.
Tingkah laku stereotip
4.
Preokupasi yang tidak normal pada bagian
tertentu dari suatu obyek
Keterlambatan dalam minimal satu dari bidang berikut,
berawal sebelum usia 3 tahun yakni interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi
dengan orang lain, atau permainan imajinatif (Maulana, 2007).
2.1.4
Penatalaksanaan Autism
Selama ini obat yang diberikan untuk mengatasi autism berupa
obat antipsikotik yang berefek sebagai pengatur kadar emosional. Padahal,
pemberian obat semacam antipsikotik hanya cenderung menjadikan anak lebih pasif
dan memungkinkan mengalami penurunan inteligensi. Sejauh ini belum ada
kejelasan bahwa obat-obatan tertentu dapat memberikan kemajuan dalam mengatasi
perilaku autistik. Begitu juga dengan suplemen yang banyak digunakan untuk anak
autism belum bisa dipastikan efektivitasnya (Maulana, 2007).
Hakikatnya, anak autism memerlukan perawatan atau intervensi
terapi secara dini, terpadu, dan intensif. Dengan intervensi terapi yang
sesuai, penyandang autism dapat mengalami perbaikan dan dapat mengatasi
perilaku autistiknya sehingga mereka dapat bergaul secara normal, tumbuh
sebagai orang dewasa yang sehat dan dapat hidup mandiri di masyarakat. Berbagai
macam terapi yaitu :
- Terapi Wicara
Suara, kata-kata, kalimat dapat diajarkan pada anak autism
sesuai dengan kemampuan anak. Terapi wicara diharapkan dapat membantu anak
autis yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Dengan kemampuan
berkomunikasi antara lain anak autism akan terhindar dari tantrum dan
menumbuhkan keyakinan bahwa dia tidak sendiri dan ada orang-orang yang
menyayanginya. Komunikasi juga menyangkut pemahaman dan pengertian mengenai apa
yang disampaikan orang lain, termasuk bagaimana meresponsnya sehingga terjadi
interaksi.
- Terapi Perilaku/Metode Lovaas
Merupakan terapi perilaku melalui pelatihan dan pendidikan
yang melibatkan keluarga dan orang terdekat. Program ini diajarkan secara
sistematik, terstruktur dan terukur dengan jadwal yang telah disusun.
Diharapkan anak dapat mempunyai perilaku yang baik dalam merespons,
berinteraksi dengan orang lain dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pribadinya.
- Terapi okupasi
Membantu integrasi sensorik dan keterampilan motorik agar
dapat melakukan kegiatan lebih aktif, terarah, dan terpadu. Dengan aktif
bergerak, metabolisme tubuh menjadi lebih baik, demikian juga dengan detak
jantung dan pencernaan yang menjadi lebih baik. Terapi ini juga dapat digunakan
untuk pelatihan emosional anak. Tujuan terapi okupasi adalah pengembangan
aktivitas fisik, intelektual, sosial, emosi, maupun kreativitas.
- Terapi Integrasi Sensorik
Terapi ini dirancang untuk memberikan perangsangan
vestibular (keseimbangan), propioseptip (gerak, tekan & posisi sendi otot),
taktil (raba/sentuhan), auditori (pendengaran), dan visual (penglihatan). Anak autism
dilatih menghadapi sensitivitas indera. Terapi ini berbentuk permainan,
sehingga terapi integrasi sensorik dan aktivitas sosial yang dijalani anak
bersifat rekreasi. Terapi ini meliputi juga terapi sentuhan. Setiap anak autism
membutuhkan pelukan, sentuhan, rasa aman, dan kasih sayang.
- Intervensi Biomedis
Tujuan dari intervensi biomedis adalah memperbaiki
metabolisme tubuh dengan obat, vitamin, suplemen, makanan dan terapi diet, juga
mengeluarkan logam berat (kelasi).
- Terapi Diet
Mengatur pola makan, mencakup jenis makanan, porsi, dan cara
pengkonsumsian. Orang tua/keluarga seharusnya mengenal betul jenis makanan apa
saja yang dapat menyebabkan efek negatif seperti alergi, intoleransi terhadap
makanan, hiperaktif, dan lain-lain sehingga tidak sampai salah dalam
menyuguhkan makanan. Terapi diet sangat penting sebab jenis makanan yang
dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap anak autism. Apabila diet dilanggar
dapat memperparah perilaku autistiknya.
7.
Terapi
medikamentosa
Pemakaian obat-obatan psikotropik membuktikan adanya
perbaikan perilaku dengan tingkat respon sebesar 48-56 persen. Obat
psikotropika tersebut seperti antipsikotik atipikal, antidepresan golongan SSRI
(selective serotonin reuptake inhibitor), dan psikostimulan. US
Food and Drug Administration menyetujui pemberian risperidon dan aripripazole
untuk digunakan pada anak autis. Obat itu termasuk dalam golongan obat
antipsikotik atipikal yang bekerja pada reseptor dopamin dan serotonin, dan
mampu meringankan perilaku agresif dan luapan emosi.
Dalam penelitian menunjukkan pemberian risperidon
selama 24 minggu efektif mengatasi masalah perilaku anak autis, ujarnya,
demikian pula aripripazole dengan rentang dosis 5-15 mg per hari selama delapan
minggu menunjukkan perbaikan perilaku hiperaktif dan penarikan diri dibanding
dengan kelompok anak yang tidak mendapat obat tersebut (Maulana, 2007).
8.
Terapi musik
Musik ternyata mampu memengaruhi
perkembangan intelektual dan membuat anak autism pintar bersosialisasi. Terapi
musik merupakan penggunaan dari suara dan musik dalam proses membina hubungan
antara anak dengan terapis, yang ditujukan untuk mendukung dan meningkatkan
kemampuan fisik, mental, sosial dan emosional anak (Maulana, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar